A. Pengertian,
Dasar dan Tujuan Pernikahan
Menikah adalah ikatan syar’i yang
menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Berwasiatlah tentang
kebaikan kepada para wanita,sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian.
Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah,
pent).”
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah
berfirman:
“Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(QS.4:21)
yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk
melaksanakan janjinya.
Tujuan-tujuan pernikahan
yang disebutkan oleh Sana’ al Khuli dalam Khazim adalah sebagai berikut:
·
Saling mendapatkan cinta antara kedua pasangan serta meraih rasa
aman.
·
Mencari keamanan ekonomi dan rumah tangga secara mandiri.
·
Memenuhi keinginan kedua orang tua.
·
Melepaskan diri dari kesendirian atau melepaskan diri dari rumah
kedua orang tua.
·
Mendapatkan teman atau pasangan hidup.
·
Mencari perlindungan, popularitas, dan status social.
·
Balas budi, atau belas kasihan, atau penguasaan dan petualangan.
B.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Menurut Syarifudin (2006: 59-61) di kalangan ulama ada perbedaan
pendapat dalam menempatkan mana yang menjadi rukun dan mana yang menjadi syarat
pernikahan. Perbadaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam memandang fokus
pernikahan. Ulama Hanafiyah melihat pernikahan dari segi ikatan yang berlaku
antara pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan itu. Oleh karena itu, yang
menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan
oleh dua pihak yang melangsungkan pernikahan.
Menurut ulama Syafi’iah yang dimaksud pernikahan adalah
keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan pernikahan dengan segala
unsurnya, bukan hanya akad nikah saja. Berdasarkan pendapat tersebut, rukun
nikah secara lengkap terdiri dari:
a.
Calon mempelai
b.
Wali
c.
Dua orang saksi
d.
Ijab dan Qabul
Djamaan Nur (1993: 61) menyebutkan ada dua syarat sah nikah,
yaitu:
1.
Perempuan yang akan dinikahi halal dinikahi oleh laki-laki yang
ingin menjadikannya sebagi istri.
2.
Akad nikahnya dihadiri oleh saksi.
3.
Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan
tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila
mempunyai lebih dari satu anak perempuan.
4.
Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari
keduanya dipaksa untuk menikah.
5.
Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan
adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila seorang wanita
menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara
hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita
biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi
dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan
kepada para wali:
“Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
Wali bagi wanita adalah:
bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak
terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari
anak laki lakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian
saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya,
kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu
kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian
orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru
hakim sebagai walinya.
Seseorang dapat menjadi wali
apabila memenuhi syarat, yaitu: beragama islam, baligh, berakal sehat,
laki-laki, dan adil (beragama dengan baik). Ada tiga macam wali:
·
Wali Mujbir; wali yang mempunyai hak memaksa. Terdiri dari ayah
dan kakek (bapak dan seterusnya keatas) yang dipandang paling besar kasih
sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya dengan syarat:
a.
Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang
dinikahkan.
b.
Antara wali mujbir dan
gadis tidak ada permusuhan.
c.
Antara laki-laki pilihan dan gadis tidak ada permusuhan.
d.
Calon suami harus mampu membayar maskawi dengan tunai.
e.
Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban terhadap
istri dengan baik.
·
Wali Hakim; orang yang
berhak menjadi wali apabila wali yang terdekat tidak ada atau tidak memenuhi
syarat menjadi wali. Apabila wali yang lebih dekat tidak ada ditempat, wali
yang lebih jauh hanya bisa menjadi wali apabila mendapat kuasa dari wali yang
lebih dekat; apabila pemberian kuasa tidak ada maka perwalian pindah kepada
Negara. Perwalian nasab pindah ke perwalian hakim apabila:
a.
wali nasab memang tidak ada
b.
wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak
member kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat
c.
wali nasab kehilangan hak perwaliannya
d.
wali nasab sedang berihram haji/ umrah
e.
wali nasab menolak menjadi wali
f.
wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Misalnya pernikahan seorang perempuan dengan saudara laki-laki
sepupunya, kandung atau seayah.
·
Wali Muhakkam; wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan. Dalam
keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali karena
tidak memenuhi syarat atau menolak dan wali hakim pun tidak dapat bertindak
sebagi pengganti wali nasab, maka untuk memenuhi syarat sah nikah mempelai yang
bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya.
6.
Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Jabir:
"Tidak sah suatu
pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya,
pent)." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih
Al Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan
kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Imam Tirmidzi berkata: “Itulah
yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah
mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada
perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi
Muta’akhirin (belakangan)”.
C.
Pernikahan yang dilarang dalam islam
a.
Nikah Syighar; seseorang menikahkan anak perempuannya dengan
syarat orang yang menikahi anaknya itu juga menikahkan putri yang ia miliki
denganya.
b.
Nikah Mut’ah; yaitu nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal
ini dilarang dalam islam.
c.
Menikahi wanita yang sedang
menjalani masa iddah baik karena perceraian maupun kematian berdasarkan firman
Allah dalam surat Al Baqarah ayat 235.
d.
Nikah Muhallil; orang yang menikahi seorang wanita dengan niatan
agar wanita itu dihalalkan menikah kembali dengan suami pertama. Dasar hukumnya
adalah QS. Albaqarah 230.
e.
Nikahnya orang yang sedang melakukan ihram baik haji maupun umrah,
berdasarkan hadist nabi “ seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan
tidak boleh dinikahkan.” HR. Muslim.
D.
Wanita yang haram dinikahi
Djamaan Nur (1993:
51-61) membagi wanita yang haram dinikahi menjadi:
·
Wanita yang haram dinikahi untuk
selamanya
-
Haram dinikahi karena hubungan nasab (QS. An Nisa: 23)
-
Ibu
-
Anak perempuan
-
Saudara perempuan
-
Bibi
-
Kemenakan perempuan
-
Haram dinikahi karena ada hubungan sesusuan (QS. An Nisa: 23)
-
Ibu susuan
-
Nenek susuan
-
Bibi sesusuan
-
Kemenakan perempuan sesusuan
-
Saudara perempuan sepersusuan
-
Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (QS. An Nisa: 22-23)
-
Ibu mertua
-
Anak tiri yang dalam pemeliharaannya
-
Menantu
-
Ibu tiri
-
Haram dinikahi karena sudah li’an (QS. An Nur: 6-9)
·
Wanita yang haram dinikahi untuk
sementara
a.
Memadu seorang wanita dengan saudaranya atau dengan bibinya.
b.
Wanita yang masih menjadi istri orang lain atau perempuan yang
masih dalam masa iddah.
c.
Wanita yang ditalak tiga.
d.
Wanita yang sedang melakukan ihram.
e.
Wanita musyrik.
f.
Wanita yang hendak dinikahi oleh seseorang yang telah beristri
empat.
E.
Khitbah (Meminang/ lamaran)
Khitbah merupakan langkah awal dari suatu pernikahan. Hal ini
disyariatkan Allah sebelum akad nikah antara suami istri melalui firmanNya
dalam QS. Al Baqarah ayat 235 dengan maksud supaya masing-masing pihak
mengetahui pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya.
M. Thalib (dalam Burhan Sodiq, 2010: 204-222) menjelaskan tentang
jenis peminangan dalam Islam.
1.
Meminang sendiri
Meminang sendiri gadis
yang hendak dijadikan istri merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan
syar’i.
2.
Meminang oleh orang tua atau wali
Tradisi orang tua atau keluarga laki-laki dating meminang kepada
keluarga atau wali perempuan, yang merupakan kebiasaan yang berlaku sebelum
datangnya islam ke tengah masyarakat Arab, sudah diterima oleh Islam. Kebiasaan
yang telah diterima Islam berarti menjadi sautu syari’at yang dibenarkan.
3.
Meminang oleh utusan
Seseorang bisa meminta bantuan kepada orang lain untuk meminang
perempuan yang di inginkan menjadi istri bagi dirinya. Syarat utusan yang harus
dipenuhi adalah:
·
Taat agama
·
Bersifat adil dan jujur
·
Memiliki kedewasaan dalam mempertimbangkan sesuatu
·
Tidak memiliki rasa permusuhan terhadap orang yang dipinang
·
Secara umum dipercaya oleh masyarakat
4.
Meminang oleh pemimpin
Seorang muslim dapat meminang seorang perempuan melalui pemimpin
yang dipercaya.
5.
Meminang langsung kepada calon
Seseorang boleh langsung meminang perempuan yang ingin dijadikan
istri tanpa melalui orang tua atau walinya.
6.
Meminang kepada orang tua atau wali
Orang tua atau wali yang menerima pinangan sama sekali tidak boleh
memaksa anak perempuannya untuk menerima kehendaknya. Sebab, pernikahan yang
bukan atas dasar saling suka tidak sah.
7.
Melihat yang dipinang
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah
(meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya
melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa
sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.
8.
Lafadz meminang
Diharamkan
meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam
masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal
mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”.
Berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran”(QS. 2: 235)
Islam tidak menentukan
kata-kata tertentu dalam menyampaikan pinangan, dalam hal ini berlaku kaidah
fiqih, bahwa kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat merupakan hukum bagi
masyarakat tersebut selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
9.
Tidak menandai pinangan dengan tukar cincin
Bertukar cincin bukan cara islam dan bukan pula cara bangsa-bangsa
Asia, melainkan bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi
tukar cincin pada mulanya bukan cara umat Kristiani, melainkan warisan kebudayaan
Romawi.
Sering terjadi di
masyarakat, laki-laki dan perempuan yang telah bertukar cincin bebas bergaul
berduaan, pergi bersama-sama seperti suami istri, dan bercengkrama sehingga
merusak tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Khitbah bagaimanapun tidak akan member hak apa-apa kepada si peminag melainkan
hanya dapat menghalangi laki-laki lain untuk meminangnya. Berdasarkan sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang
wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah
meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Perempuan yang dilamar tetap merupakan bukan mahram sampai akad
terselenggara, sehingga tidak halal bagi mereka untuk berduaan tanpa mahram dan
hal-hal lain yang dapat mengantarkan pada perbuatan zina.
Islam tidak memberikan tuntunan upacara peminangan, maka tidak
boleh mengada-adakannya sekedar untuk mengikuti tradisi. Bahkan meniru tradisi
masyarakat non muslim adalah haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar