Selasa, 24 Januari 2012

Tafsir surat At-Taubat ayat 22


HOW TO REACH THE HIGHEST KNOWLEDGE
( KAJIAN QS. AT-TAUBAH [ 9] : 122)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas  Mata Kuliah Tafsir

Dosen Pengampu:
Drs. Syufa'at, M. Ag

  

  1. Gambaran Umum Teks
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan yakni hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti. Perjuangan yang menggunakan pedang itu tidak disyari'atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar agar dakwah tersebut tidak dipermainkan oleh orang-orang kafir dan munafik.
Perlu diketahui jihad dapat dilakukan dalam tiga aspek, yaitu jihad dengan fisik yang berarti perang, jihada dengan pikiran yang berarti melakukan ijtihad, dan jihad melawan hawa nafsu (mujahadah).
Menurut riwayat Al Kalabi dari Ibnu 'Abbas, bahwa dia mengatakan, "Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai bala tentara atau utusan perang untuk selama-lamanya, hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggalah Rasulullah sendirian, sehingga turunlah QS. At- Taubah ayat 122.
Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ketika Rasul saw. tiba di Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin ikut dalam pasukan itu sehingga apabila di ikuti, maka tidak ada yang tinggal bersama Rasul kecuali beberapa orang saja.(Shihab, 2002:706) Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin , dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu kifayah, bukan fardu 'ain. Perang baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengarahkan kaum mukmin menuju medan perang (ghazwah)
(Maraghi, 1992: 85).
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Khatib al-Baghdadi berkata bahwa "Allah akan menjaga wilayah kaum muslimin dengan keberadaan para mujahidin, dan akan menjaga syariat iman dengan keberadaan para muta'allimin (para penuntut ilmu)". Artinya, mempersiapkan para muta'allimin yang akan menjaga kemurnian syariat jihad dari segala macam propaganda dan syubhat yang dihembuskan musuh-musuh Allah adalah bagian jihad yang tidak boleh ditinggalkan.

  1. Analisis Bahasa
1.      Analisis gramatikal

Ayat ini sudah merupakan kalimat sempurna karena sudah memenuhi unsur subyek, predikat, dan obyek atau sudah ada mubtada' dan khabar.

3.      Analisis kata kunci
Kata kunci dari ayat tentang kewajiban mempelajari ilmu agama adalah (liyatafaqqahu fi ad-Din)   ليتفقهوا فى الدينyang berarti untuk mereka memperdalam pengetahuan agama. Dalam tafsir al-Maraghi diartikan berusaha keras untuk mendapatkan dan memahami suatu  perkara dengan susah payah untuk memprolehnya.
Akar kata yang terdiri dari [ ف ق ه] menunjukkan arti mengetahui dan memahami sesuatu. Seorang yang alim dan cerdas disebut faqih. Pada mulanya istilah tafaqquh fi ad-din adalah untuk pekerjaan mengerti, memahami, dan mendalami seluk-beluk ajaran agama Islam. Namun, pada periode berikutnya, istilah fikih digunakan untuk ilmu-ilmu syariat sebagai lawan dari ilmu tauhid yang berkaitan dengan akidah.
Kata (ليتفقهوا) liyatafaqqahuu terambil dari kata (فقه) fiqh yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal sulit dan tersembunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ت  pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.

  1. Munasabah Baina al Ayat
Ayat sebelumnya (QS. At- Taubah ayat 120-121)
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. yang demikian itu ialah Karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,
"Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan."
Pada kedua ayat di atas telah dijelaskan hukum-hukum tentang perang sebagai suatu cara dalam berjihad fi sabilillah, yang memerlukan pengorbanan harta benda dan jiwa raga, yang di catat disisi Allah sebagai amal shaleh yang berhak untuk di balas dengan ganjaran yang amat besar. Allah menegaskan tentang kewajiban mengikuti Rasulullah, untuk berperang bersama beliau. Karena, dengan ikut berperang bersama beliau, akan memperoleh pahala yang besar. Dan Allah pun memperingatkan jangan ada seorang pun yang tidak ikut dalam peperangan, kecuali atas izin dari beliau (Maraghi, 1992: 80).
Pada ayat ini 122, Allah menjelaskan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu-ilmu agama Islam, yang merupakan salah satu cara dan alat dalam berjihad. Menuntut ilmu serta mendalami ilmu-ilmu agama, juga merupakan suatu perjuangan yang meminta kesabaran dan pengorbanan tenaga serta harta benda.
Ayat sesudahnya (QS. At- Taubah ayat 123)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Nä3tRqè=tƒ šÆÏiB Í$¤ÿà6ø9$# (#rßÉfuø9ur öNä3ŠÏù Zpsàù=Ïñ 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB šúüÉ)­GßJø9$# ÇÊËÌÈ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa."
Pada ayat ini Allah membimbing mereka supaya memulai perang terhadap orang-orang kafir di sekitar mereka. Sesudah itu, supaya beralih memerangi orang-orang kafir berikutnya yang lebih jauh, dan berikutnya lagi, dan seterusnya. Begitu pula perintah Allah SWT mengenai dakwah, sebagaimana firman-Nya:
öÉRr&ur y7s?uŽÏ±tã šúüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ   
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,"
Sesudah itu, Nabi pun diperintahkan berdakwah secara umum dan memerangi siapapun yang berani menghalangi jalan dakwahnya (Maraghi, 1992: 88).

  1. Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah bahwa pada waktu QS. At- Taubah ayat 39 turun ada beberapa orang yang tidak hadir dalam peperangan karena hidup di daerah pedalaman (Badui). Mereka mengajar kaumnya ilmu agama. Melihat yang demikian, orang-orang munafik mengatakan : "Celakalah penduduk kampung itu, mereka tidak hadir berperang bersama Rasulullah." Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-122 yang memberikan ketegasan bahwa orang-orang yang tidak hadir dalam peperangan karena baru menekuni ilmu agama, mereka tidak berdosa. Jadi, orang yang belajar dan mengajar ilmu agama termasuk jihad.
Riwayat lain dari Abdillah bin Ubaid bin Umar, oleh karena kaum muslimin berambisi sekali untuk berjihad, maka apabila ada seruan untuk berjihad di medan perang dari Rasulullah saw. mereka dengan tanpa berpikir panjang langsung berangkat. Tidak jarang mereka berangkat dengan meninggalkan Rasulullah bersama orang-orang dhaif di Madinah. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat 122 sebagai penegasan tentang larangan bagi kaum muslimin berangkat perang secara keseluruhan dan ayat ini memberikan tuntunan agar sebagian kaum muslimin menuntut ilmu agama, sementara yang lain berangkat jihad. Nilai pahala keduanya sama.

  1. Kandungan Makna
Dalam Al-Qur'an, istilah tafaqquh fi ad-din disebut hanya sekali. Kata ad-din dalam rangkaian istilah tersebut berarti "agama" dalam arti yang luas, bukan "agama" arti sempit, seperti mempelajari seluk-beluk wudhu dan masalah shalat, atau hanya menyangkut masalah fiqih. Agama yang oleh ungkapkan tersebut di dorong untuk di dalami oleh dari Nabi SAW, pada saat beliau berada di tempat/ Madinah karena tidak berangkat memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang telah diterima Rasulullah saw pada periode Mekah selama 13 tahun, dan juga masalah-masalah agama yang mungkin dapat disampaikan Nabi pada saat para sahabat yang berminat melakukan tafaqqauh fid-din. Jadi, seolah-olah dikatakan bahwa jika Rasulullah saw sedang berada di Madinah, tidak berangkat memimpin perang, sepatutnya sebagian sahabat memanfaatkan kesempatan itu untuk mendalami berbagai persoalan agama.
Quraish Shihab berpendapat bahwa pengaitan tafaqquh (pendalaman pengetahuan itu) dengan agama, adalah untuk menggarisbawahi tujuan pendalaman pengetahuan itu, bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-Qur'an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah swt. Al-Qur'an tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum, kareana semua ilmu bersumber dari Allah swt. Yang diperkenalkannya adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia (acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny/ perennial) (Shihab, 2002: 707).
Sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama; sumber Ilahi berupa wahyu, ilham maupun mimpi yang benar dan sumber manusiawi; jenis ilmu pengetahuan dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, upaya mengamati, menelaah, dan memecahkan berbagai problem yang dihadapi melalui ”Trial and Error” atau lewat pendidikan dan pengajaran dari kedua orangtuanya, lembaga-lembaga pendidikan maupun penelitian ilmiah (LPPI-UMP, 2009: 96).
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat di lakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat.Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan (Depag, 2009: 233).
Tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dan dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.
Tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, di samping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan dakwahnya dan membelanya, serta menerangkan rahasia-rahasianya kepada seluruh umat manusia. Jadi, bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang zalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan di antara sesama mereka.
Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga, mereka tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mukmin.
Orang-orang yang mempelajari agama dengan tujuan seperti itu lah orang yang beruntung. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi wajib 'ain bagi setiap orang (Maraghi, 1992: 87). Penulis menyimpulkan dari uraian di atas bahwa peran ulama itu lebih mulia dari syuhada.
Ibnu Abbas ra. memberikan penakwilannya, bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyyah-sariyyah, yakni apabila pasukan itu dalam bentuk Sariyyah, sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang jika itu adalah Ghazwah (Jalalain, 2000: 819).
Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari penduduk Arab yang muslim wajib berangkat berperang, kemudian dari sekian golongan itu harus ada orang-orang yang menyertai Rasulullah saw. guna memahami agama lewat wahyu yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka dapat memperingatkan kaumnya apabila telah kembali, yaitu ihwal persoalan musuh. Jadi, dalam pasukan itu ada dua kelompok: kelompok yang berjihad dan kelompok memperdalam agama melalui Rasul.
Sehubungan dengan ayat ini, al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: Dari setiap penduduk Arab ada sekelompok orang menemui Rasulullah saw. mereka menanyakan kepada beliau berbagai persoalan agama yang mereka kehendaki dan mendalaminya. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang diperintahkan kepada kami bila kami kembali? Ibnu Abbas berkata: maka Nabi menyuruh mereka menaati Allah, menaati Rasulullah, menyampaikan berita kepada kaumnya ihwal kewajiban mendirikan shalat dan zakat. Jika golongan ini telah sampai kepada kaumnya, mereka berkata: "Barangsiapa masuk Islam, maka dia termasuk kelompok kami." Mereka memberi peringatan kepada setiap delegasi agar memperingatkan kaumnya jika mereka telah kembali ke kampung halamannya: memperingatkan nerakan dan menggembirakan dengan surga (Ar-Rifa'I, 1999).
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia. Sementara ulama  menggarisbawahi persamaan redaksi anjuran/ perintah menyangkut kedua hal tersebut. Jadi, yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang tinggal bersama Rasul saw dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan, sedang mereka yang diberi peringatan adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul saw. ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa yang memperdalam pengetahuan adalah aggota pasukan yang ditugaskan Nabi saw. dengan perjuangan dan kemenangan menghadapi musuh, mereka memperoleh pengetahuan tentang kebenaran Islam serta pembelaan Allah swt terhadap agama-Nya dan memperingatkan orang yang tinggal di Madinah agar berhati-hati dalam bersikap dan kelakuan mereka agar tidak terhindar dari bencana yang dialami orang-orang yang membangkang perintah-Nya. Pendapat ini di dukung oleh Sayyid Qutb.
Pendapat ini agaknya dipaksakan, apalagi tidaklah pada tempatnya menamai pengalaman mereka yang terlibat dalam dalam perang atau kemenangan yang mereka raih sebagai upaya tafaqqahu fid din (memperdalam ilmu agama) . ayat ini menggarisbawahi terlebih dahulu motivasi memperdalam pengetahuan bagi mereka yang di anjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh . ayat ini tidak berkata bahwa hendaklah jika mereka pulang mereka bertafaqquh, tetapi berkata " untuk memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka, supaya mereka berhati-hati. Peringatan itu hasil tafaqquh. Itu tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam perang, karena yang terlibat ketika itu pastilah sedemikian sibuk menyusun strategi dan menagkal serangan, mempertahankan diri sehingga tidak mungkin dapat bertafaqquh memperdalam pengetahuan. Memang harus diakui, bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan agama harus memahami arena, serta memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti tidak dapat dilakukan oleh mereka yang tidak terlibat dalam perang. Bahkan tidak keliru jika dikatakan yang tidak terlibat dalam perang itulah yang mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu daripada mereka yang terlibat langsung dalam perang (Shihab, 2002: 709).
Ali bin Abi Thalib berkata :”Sesungguhnya yang disebut orang alim adalah orang yang beramal dengan ilmunya dan ilmunya sesuai dengan amalnya.” Atsar tersebut menunjukkan bahwa harus ada integritas antara ilmu dengan amal, karena sejatinya menurut ulama orang-orang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, mereka adalah orang yang bodoh.

  1. Kontekstualisasi
Ilmu agama menjadi kebutuhan yang pokok bagi setiap muslim. Umat Islam sekarang ini telah di jajah oleh modernisasi, dimana banyak budaya-budaya barat yang mendominasi kehidupan dari mode, makanan sampai gaya hidup. Aturan syariat Islam di anggap ketinggalan jaman, kolot dan sebagainya. Kenapa ini bisa terjadi? Tidak lain karena umat islam sekarang tidak mengenal syari'atnya sendiri.
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa ingin bahagia di dunia maka dapat diraih dengan ilmu, barangsiapa ingin bahagia di akhirat maka dapat diraih dengan ilmu, dan barangsiapa ingin bahagia di dunia dan akhira maka dapat diraih pula dengan ilmu”.
Menjadi tanggung jawab orang yang paham agama untuk mengajarkan apa yang telah dipahaminya dan setiap muslim wajib untuk menuntut ilmu agama, agar Islam tidak lagi asing di mata pemeluknya. Dengan menuntut ilmu akan kita raih derajat kemuliaan yang tertinggi karena ilmu agama merupakan "the highest knowledge".
Agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan dapat menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah hukum yang berbunyi:

مالايتمال واجب إلابه فهوواجب

"Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya".
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain.
The highest knowlwdge dapa diraih dengan:
  1. Memiliki azzam yang kuat untuk memperdalam ilmu agama.
  2. Meluruskan niat hanya untuk meraih ridha Allah swt.
  3. Rajin menghadiri majelis-majelis ilmu.
  4. Istiqomah dalam mencari ilmu agama.
  5. Memaksimalkan sarana mencari ilmu sebagai wujud syukur, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati.
  6. Mengamalkan apa yang sudah di ilmui.
Apabila kelima langkah tersebut dilaksanakan Insya Allah ilmu agama (The highest knowlwdge tersebut) aka dapat diraih.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. 2000. Tafsir Jalalain Berikut      
                  Asbaabun Nuzuul Ayat, terj. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Al-Maraghi, Ahmad mustafa. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha Putra.
Ammar, Abu dan Abu Fatiah al-Adnani. 2009. Mizanul Muslim, edisi revisi. Solo: Cordova Mediatama.
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir . Bandung: Gema Insani Press.
Dapartemen Agama Republik Indonesia. 2009. Al-Qur'an Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag.
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. 2009. Membangun Intelektual     
               Muslim yang Tangguh. UMP: Purwokerto.
Mahali, A. Mudjab. 2002. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur'an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
              Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.

Mata Kuliah “Tafsir”


MAKALAH
POHON KURMA SETINGGI LANGIT
(KAJIAN QS. IBRAHIM/14: 24-25)
Disusun sebagai tugas mata kuliah “Tafsir”
Dosen Pengampu : Drs. Syufa’at, M.Ag



Disusun Oleh:
Nama                 : Annisa Rahayu
NIM                   : 0806010003
Semester            :V

KALIMAT THAYYIBAH
(KAJIAN QS. IBRAHIM/14: 24-25)

A.    Gambaran Umum Teks

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” [24].
“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seizin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” [25].
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah telah menjelaskan keadaan orang-orang durhaka, kesudahan mereka, dan berbagai kesusahan di dalam neraka yang mereka tidak dapat menyelamatkan diri daripadanya. Allah menjelaskan pula ihwal orang-orang berbahagia dan beruntung yang mereka peroleh dari sisi Allah.  (Al-Maraghi 1988 : 259)
Allah mengumpamakan perkara maknawi dengan perkara indrawi, agar kesannya lebih menyentuh jiwa dan lebih sempurna bagi orang yang berakal. Bagi orang Arab, kata perumpamaan adalah gaya pengungkapan perasaan yang biasa digunakan untuk memperjelas makna-makna yang dikehendaki terpatri kokoh di dalam hati para pendengar. Al-Qur’an penuh dengan kata-kata tersebut. (Al-Maraghi 1988: 260).
Allah mengumpamakan kalimat yang baik itu dengan pohon yang baik, berbuah, indah dipandang, harum baunya, pokoknya tertancap kokoh ke dalam tanah, yang karenanya tidak mudah tumbang, dan cabang-cabangnya menjulang tinggi ke udara. Keadaan ini menunjukkan kepada kokohnya pokok, kuatnya akar, dan jauhnya pohon dari benda-benda busuk yang ada di dalam tanah serta kotoran bangunan. Maka, pohon itu mendatangkan buahnya yang bersih dari segala kotoran, dan berbuah pada setiap muslim dengan perintah serta izin Penciptanya. Jika seluruh sifat tersebut dimiliki oleh pohon ini, maka akan banyak manusia yang menyukainya. (Al-Maraghi 1988:261).

B.     Analisis Bahasa
Al-Matsal                  : perkataan tentang sesuatu yang diumpamakan dengan perkataan tentang sesuatu yang lain, karena antara kedua-nya terdapat keserupaan, dan perkataan pertama diperjelas dengan perkataan kedua, agar dengan perkataan kedua itu terbukalah keadaan perkataan pertama secara sempurna.
Fis-Samaa’             : arah atas
Tu’ti ukulaha          : memberikan buahnya
Biidzni Rabbiha     : dengan kehendak Penciptanya. (Al-Maraghi 1988: 259)

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan sebagai berikut:   

ﺍﻟﻡ ﺘﺮ                      : ﺘﻨﻅﺮ
ﻜﻳﻒ ﺿﺮﺐ ﺍﻟﻟﻪ ﻣﺜﻼ    : ﻮﻳﺒﺪﻞ ﻣﻨﻪ
ﻜﻠﻣﺔ ﻂﻳﺑﺔ                 : ﺃﻱ ﻻ ﺍﻠﻪ ﺍﻻ ﺍﻠﻠﻪ
ﻜﺸﺟﺭﺓ ﻂﻳﺑﺔ              : ﻫﻲ ﺍﻠﻨﺨﻠﺔ
ﺃﺼﻠﻬﺎ ﺜﺎﺑﺖ               : ﻓﻲ ﺍﻻﺭﺾ
ﻭﻔﺭﻋﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻠﺳﻣﺎﺀ       : ﻏﺼﺑﻬﺎ
ﻨﺅﺘﻲ                        : ﺘﺅﻁﻰ
ﺃﻜﻠﻬﺎ                        : ﺜﻣﺮﻫﺎ
ﻜﻞ ﺣﻳﻦ                   :
 ﺒﺈﺬﻦ ﺭﺒﻬﺎ                  : ﺒﺎﺮﺍﺪﺘﻪ ﻜﺬﻟﻚ ﻛﻠﻣﺔ ﺍﻹﻳﻣﺎﻥ ﺜﺎﺒﺗﺔ ﻓﻲ ﻘﻟﺐ ﺍﻟﻣﺅﻣﻥ ﻭﻋﻣﻠﻪ ﻳﺼﻌﺪ ﺍﻟﻰ     ﺍﻟﺳﻣﺎﺀ ﻭﻳﻨﺎﻟﻪ ﺒﺮﻜﺘﻪ ﻭﺜﻭﺍﺒﻪ ﻜﻞ ﻭﻘﺖ
ﻭﻳﺿﺭﺐ ﷲ ﺍﻷﻤﺜﺎﻝ ﻠﻠﻨﺎﺲ       : ﻳﺒﻳﻥ
ﻟﻌﻟﻬﻢ ﻳﺗﺬﻛﺮﻭﻦ            : ﻳﺗﻌﻈﻭﻦ ﻓﻴﺅﻣﻨﻭﻦ


Alam tara: Tidakkah kamu perhatikan
Kaifa dharaballahul masalan: bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
Kalimatin thaiyyibatin: kalimat yang baik
Kasyajaratin: seperti pohon yang baik
Asluha tsabiun: akarnya teguh
Wa far’uha: dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Tu’tii ukulaha: Pohon itu memberikan buahnya
Kulla hiinin: pada setiap muslim
Bi idzni rabbiha: dengan seizin Tuhan-Nya.
Wa yadribul amtsaala lin naasi: Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
La’allahum yatadzakkarun: supaya mereka selalu ingat.

Struktural atau gramatikal
Penjelasan secara mujmal

C.    Munasabah

Ayat 23 berbicara tentang….terjemahkan.

Pada QS. Ibrahim ayat 18 Allah telah mengambil perumpamaan tentang amalan dari orang yang tidak menganut kepercayaan kepada Allah, ialah laksana debu yang habis terbang dihembus oleh angin yang keras, sehingga sedikit pun dia tidak mendapatkan faedah dari apa pun yang dia usahakan. Kemudian diterangkan pula kemalangan orang yang beragama hanya turut-turutan, sehingga dipengaruhi oleh orang yang sombong dan berpengaruh dan diperdayakan oleh syaitan-syaitan. Dan setelah hari kiamat, pemimpin yang mempengaruhi itu dan syeitan yang memperdayakan itu tidak seorang jua pun yang dapat menolong, sehingga si malang terpaksa masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Hanya orang yang beriman dan beramal sholeh yang akan selamat. (Hamka :139)

Selanjutnya Allah mengemukakan suatu perumpamaan lagi.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” [24].
“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seizin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” [25].

Setelah menggambarkan kerugian yang akan diperoleh kaumnya yang zalim dan keuntungan yang diperoleh orang-orang yang beriman dan beramal shaleh pada ayat-ayat yang lalu, maka dalam dua ayat ini Allah swt memberikan perumpamaan tentang kebenaran atau kalimat yang baik dengan pohon yang baik, yaitu iman yang tetap di dalam kalbu Mu’min, yang karena itu amalnya diangkat ke langit, dilanjutkan pada ayat 26 Allah swt memberi perumpamaan kalimat yang buruk, yaitu Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-karnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap tegak sedikit pun. Demikianlah keadaan kalimat yang buruk, walau kelihatan ada wujudnya tetapi itu hanya sementara lagi tidak akan menghasilkan buah. (Shihab 2002: 52-53).
Kalimat yang buruk itu apa/...?

D.    Kandungan Makna
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” [24].
Yang dimaksud kalimat yang baik di sini ialah kalimat Tauhid, serta segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, termasuk semua perbuatan yang berindikasi kepada kemaslahatan. Melakukan aktivitas seperti inilah yang dianalogikan oleh Al-Qur’an bagaikan pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit, serta dapat dirasakan buahnya. Hal ini karena amalan tersebut dapat mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. (Kauma 2000: 251-252)

Perumpamaan yang disebutkan dalam ayat ini ialah perumpamaan mengenai kata-kata ucapan yang baik, misalnya kata-kata yang mengandung ajaran tauhid, seperti “La ilaha illallah” atau kata-kata lain yang mengajak manusia kepada kebajikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Kata-kata semacam itu diumpamakan sebagai pohon yang baik, akarnya teguh menghujam ke bumi. Akar bagi pohon memiliki dua fungsi utama : (1) menghisap air dan unsur hara dari dalam tanah dan (2) menopang tegaknya pohon. Akar pohon yang berfungsi baik akan dapat menyalurkan unsur-unsur hara dari dalam tanah ke bagian atas pohon dan pertumbuhan pohon akan berjalan dengan baik. (Depag 2009: 144)

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas menafsirkan “kalimat yang baik” sebagai kesaksian tiada Tuhan melainkan Allah, “pohon yang baik sebagai seorang mukmin, “akarnya kokoh” sebagai kalimat ‘tiada Tuhan melainkan Allah’ yang berada di dalam hati seorag mukmin, dan “cabangnya ke langit” sebagai amal seorang mukmin yang dinaikkan ke langit lantaran kalimat itu. Demikian pula menurut penafsiran adh-Dhahak, Said bin Jabir, Akramah, Mujahid, dan ulama lain yang tidak hanya seorang. Sesungguhnya perumpamaan itu menggambarkan amal seorang mukmin, ucapannya yang baik, dan perbuatannya yang saleh. Dan bahwa seorang mukmin itu seperti pohon kurma. Pohon itu senantiasa menaikkan amal shaleh bagi si mukmin pada setiap saat waktu, pagi dan sore. As-Sidi meriwayatkan dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Kalimat (perumpamaan itu) ialah pohon kurma. (Ar-Rifa’i 1999: 953-954)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata (677), ;Kami tengah bersama Rasulullah saw.. Beliau bersabda, ‘Beritahukanlah kepadaku sebuah pohon yang menyerupai (atau seperti) seorang muslim. Daunnya tidak berguguran baik pada musim hujan maupun kamarau dan berbuah setiap saat dengan seizing Tuhannya,’ Terbetiklah dalam diriku bahwa ia adalah pohon kurma. Aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berkata-kata, maka aku pun enggan untuk memulai berkata. Mereka tidak mengatakan apa pun. Rasulullah saw. Berkata, ‘Pohon itu adalah kurma.’ Setelah kami bangkit, aku berkata kepada Umar, ‘Hai ayahku, demi Allah sesungguhnya telah terbetik dalam benakku bahwa pohon itu ialah pohon kurma.’ Umar berkata, ‘Lalu, mengapa kamu tidak mengatakannya?; Aku berkata, ‘Karena kalian tidak mengatakan apa-apa sehingga aku enggan atau segan untuk mengatakan sesuatu.’ Umar berkata, ‘Kamu mengatakanya adalah lebih aku sukai daripada anu dan anu.’” (Ar-Rifa’i 1999: 954)
“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seizin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” [25].
Dalam ayat ini digambarkan bahwa pohon yang baik itu selalu memberikan buahnya pada setiap manusia, dengan seizing Tuhannya. adapun proses pertumbuhan tanaman diperlukan berbagai unsur hara yang cukup banyak macamnya. Untuk sampai pada terjadinya buah, akar harus dapat memasok semua kebutuhan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang. (Depag 2009: 145).
Maka oleh karena baik pupuknya, baik  pemeliharaannya, subur tanah tempatnya tumbuh dan selalu dapat menghisap udara dan tidak ada yang menghambat mengambil cahaya matahari, dengan sendirinya dia terus menghasilkan buah, tidak pandang musim; di musim panas, di musim hujan, di musim rontok atau di musim semi, dia tetap menghasilkan buah.
Diberi perumpamaan indah ini supaya manusia tetap ingat, agar bibit pohon itu yang telah ada dalam jiwa dan akal kita sejak kita dilahirkan ke dunia jangan sampai layu. Biarkan dia tumbuh dengan suburnya. Dan kewajiban suatu rumah tangga melahirkan pohon ini pada seisi rumahtangganya, kewajiban ayah ibu memupuknya pada anak. Dia mesti dipelihara terus. Pemeliharaan itulah yang di dalam bahasa arab di sebut takwa, berasal dari kalimat wiqoyah; pemeliharaan. Jangan ada yang menghambatnya dari cahaya matahari. Cahaya matahari itu diambil dengan mengerjakan sholat, sehingga sampailah dahan dan cabang kayu itu ke langit. Segala amal yang shalih, budi yang mulia, cinta dan kasih kepada sesama manusia, tangan yang murah memberi, dan lain-lain. Itulah buahnya. Dan tidaklah dapat ditumbangkan, insya allah.
 
Dampak positif dan negatif dari kalimat yang baik dan yang buruk

E.     Kontekstualisasi
Agama islam mengajarkan kepada umatnya agar membiasakan diri menggunakan ucapan yang baik, yang berfaedah bagi dirinya, dan bermanfaat bagi orang lain. Ucapan seseorang menunjukkan watak dan kepribadiannya serta adab dan sopan-santunnya. Sebaliknya, setiap muslim harus menjauhi ucapan dan kata-kata yang jorok, yang dapat menimbulakn rasa jijik bagi yang mendengarnya. (Depag 2009: 145)
Setiap orang yang memperoleh ilmu pengetahuan dari seorang guru haruslah bersyukur kepada Allah karena pada hakekatnya ilmu pengetahuan yang diperolehnya melalui seseorang adalah karunia dan rahmat dari Allah swt. Ibu bapak dalam rumah tangga haruslah senantiasa mempergunakan kata-kata yang baik dan sopan, serta menjauhi ucapan-ucapan kotor dan kasar, karena ucapan-ucapan itu akan ditiru oleh anak-anak mereka. (Depag 2009: 145)
Pembuatan perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan manusia terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah dilunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat mengeluarkan makna dari yang tersembunyi kepada yang jelas, dan dari yang dapat diketahui dengan pikiran kepada yang dapat diketahui dengan tabiat. Dengan perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang suatu yang diumpamakan. (Al-Maraghi 1988: 263)

  1. Guru hendaknya selalu memberikan motivasi kepada anak didiknya untuk mengatakan kata-kata yang baik dan menghindari kalimat yang buruk atau tidak sopan.
  2. Seorang guru tidak boleh berbohong karena termasuk kata-kata yang buruk.
  3. Guru hendaknya dapat menjelaskan sejelas-jelasnya
  4. Guru harus mempunyai referensi
  5. Guru memberikan reward dan punisment secara proporsional
  6. Guru hendaknya selalu memberikan pujian kepada anak didik dan jangan mencela
  7. Guru hendaknya mendoakan kepada siswa supaya menjadi orang yang berhasil
 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1988. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra
Kauma, Fuad. 2000. Tamsil Al-Qur’an Memahami Pesan-pesan Moral dalam Ayat-ayat TamsilJakarta Gema Insani Press.
Kauma, Fuad. 2000. Tamsil Al-Qur’an Memahami Pesan-pesan Moral dalam Ayat-ayat Tamsil. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Syihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati
Depag RI. 2009. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Depag
Hamka. 1989. Tafsir Al Azhar Jus XII – XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas
Jalalain.__