Salah satu prinsip yang di usung oleh Negara-negara penganut paham
kebebasan adalah kesamaan derajat antara kaum laki-laki dan perempuan. Konsep kebebasan
yang mereka anutpun, bukan konsep berbagi tugas sesuai dengan fitrah dan
bersekutu pahala seperti dalam Islam. Kebebasan yang mereka tuntut adalah
kebebasan dalam nuansa pemberontakan.
Mereka menginginkan kesamaan hak penuh antara laki-laki dan perempuan,
berebut kesempatan yang sama dimana kaum laki-laki berkiprah. Mereka menuntut
bebas keluar rumah, bebas bekerja, bebas mengelola hasil kekayaan sendiri,
bebas menentukkan untuk tidak terikat dengan ikatan pernikahan, bebas
berekspresi tanpa terikat oleh norma-norma agama yang dalam pandangan mereka
membelenggu. Juga hak di dalam bidang politik.
Sebagian yang mereka tuntut, pada dasarnya hak itu diakui dalam Islam,
seperti mengelola dan mendistribusikan hartanya sendiri (hasil usahanya, hibah
dari orang lain maupun warisan). Islam tidak menghalangi mereka untuk
membelanjakannya dalam perkara-perkara yang ma’ruf, tetapi banyak tuntutan lain
yang sejatinya keluar dari fitrahnya dan merusakkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat muslim dalam jangka panjang.
Tuntutan kaum perempuan atas nama emansipasi seperti kampanya kaum
liberal yang mengaku Islam, kesetaraan gender, ketika keluar dari fitrahnya
akan meruntuhkan sendi-sendi masyarakat Islam. Kebebasan itu berimplikasi
langsung, tidak terurusnya anak-anak dan suami mereka, rumah tangga mereka
menurun kualitas dan intensitas komunikasinya, kasih sayang yang mongering,
akhirnya ikatan keluarga terurai. Terampanya ruang laki-laki untuk bekerja,
akibat terisinya peluang kesja tersebut
oleh kaum perempuan, apalagi
seringkali bayaran yang dikeluarkan untuk kaum perempuan lebih kecil
dibandingkan jika memperkejakan laki-laki.
Keluarnya mereka juga berakibat terjadinya ikhtilat, bercampurnya laki-laki
dan perempuan dalam pekerjaan dan interaksi intensif antara laki-laki dan
perempuan dalam durasi yang panjang dan frekuensi yang terus berulang,
menimbulkan masalah baru, yaitu pelanggaran moral dan agama. Di sisi lain,
intensitas dan kualitas hubungan mereka dengan suami dan anak-anaknya semakin
menurun. Hal ini meniscayakan kemerosotan kualitas institusi keluarga sebagai
basis pengkaderan generasi dan efeknya
pasti akan terasa dalam jangka panjang. Pendirian pabrik-pabrik, selalu di
ikuti dengan menjamurnya mess-mess pekerja do sekitar pabrik untuk menampung
buruh yang tempat tinggalnya jauh. Interaksi sosial sesame mereka dan
kebutuhan-kebutuhan biologis mereka, disertai rendahnya tingkat pendidikan dan
kehidupan keberagamaan mereka, sering berimplikasi merosotnya kualitas moral
dan terjadinya pelanggaran etika. Apalagi, atas nama efisiensi banyak pabrik yang membagi shift kerja hingga
tiga dual dalam 24 jam, dan tidak mengesualikan pekerja wanita dalam daur shift
tersebut. Masih atas nama kesetaraan gender.
Barat sendiri menyadari keruntuhan moral dalam kehidupan masyarakat
mereka, tetapi nyatanya mereka tetap meng-eksport cara hidup ini dengan
berbagai kekuatan dan tekanan agar dapat diterima. Barat tidak mau tercebut
jurang sendirian, tetapi pemimpin Negara berkembang yang mayoritas Islam tidak
menyadari bahaya tersebut karena telah dibutakan oleh tujuan politis.
Kesimpulan dari uraian diatas adalah Islam mengakui kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan selama tuntutan kesetaraan tersebut tidak melanggar
fitrah dan tidak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar