HOW TO REACH THE HIGHEST KNOWLEDGE
(
KAJIAN QS. AT-TAUBAH [ 9] : 122)
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas Mata
Kuliah Tafsir
Dosen
Pengampu:
Drs.
Syufa'at, M. Ag
- Gambaran Umum Teks
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
Ayat ini menerangkan kelengkapan
dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan yakni hukum mencari ilmu dan
mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama merupakan cara berjuang
dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti. Perjuangan yang
menggunakan pedang itu tidak disyari'atkan kecuali untuk menjadi benteng dan
pagar agar dakwah tersebut tidak dipermainkan oleh orang-orang kafir dan
munafik.
Perlu diketahui jihad dapat dilakukan dalam tiga aspek, yaitu
jihad dengan fisik yang berarti perang, jihada dengan pikiran yang berarti
melakukan ijtihad, dan jihad melawan hawa nafsu (mujahadah).
Menurut riwayat Al Kalabi dari Ibnu
'Abbas, bahwa dia mengatakan, "Setelah Allah mengecam keras terhadap
orang-orang yang tidak menyertai bala tentara atau utusan perang untuk
selama-lamanya, hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggalah
Rasulullah sendirian, sehingga turunlah QS. At- Taubah ayat 122.
Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa ketika Rasul saw. tiba di Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri
dari beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin ikut dalam
pasukan itu sehingga apabila di ikuti, maka tidak ada yang tinggal bersama
Rasul kecuali beberapa orang saja.(Shihab, 2002:706) Tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin , dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat
menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena,
perang itu sebenarnya fardu kifayah, bukan fardu 'ain. Perang
baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengarahkan kaum mukmin
menuju medan perang (ghazwah)
(Maraghi,
1992: 85).
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Khatib al-Baghdadi berkata bahwa "Allah akan menjaga wilayah kaum muslimin
dengan keberadaan para mujahidin, dan akan menjaga syariat iman dengan
keberadaan para muta'allimin (para penuntut ilmu)". Artinya, mempersiapkan
para muta'allimin yang akan menjaga kemurnian syariat jihad dari segala
macam propaganda dan syubhat yang dihembuskan musuh-musuh Allah adalah bagian
jihad yang tidak boleh ditinggalkan.
- Analisis Bahasa
1. Analisis
gramatikal
Ayat ini sudah merupakan kalimat
sempurna karena sudah memenuhi unsur subyek, predikat, dan obyek atau sudah ada
mubtada' dan khabar.
3. Analisis
kata kunci
Kata kunci
dari ayat tentang kewajiban mempelajari ilmu agama adalah (liyatafaqqahu fi
ad-Din) ليتفقهوا فى الدينyang berarti untuk mereka memperdalam pengetahuan
agama. Dalam tafsir al-Maraghi diartikan berusaha keras untuk mendapatkan dan
memahami suatu perkara dengan susah
payah untuk memprolehnya.
Akar kata
yang terdiri dari [ ف ق ه] menunjukkan arti mengetahui dan
memahami sesuatu. Seorang yang alim dan cerdas disebut faqih. Pada mulanya
istilah tafaqquh fi ad-din adalah untuk pekerjaan mengerti, memahami,
dan mendalami seluk-beluk ajaran agama Islam. Namun, pada periode berikutnya,
istilah fikih digunakan untuk ilmu-ilmu syariat sebagai lawan dari ilmu tauhid
yang berkaitan dengan akidah.
Kata (ليتفقهوا) liyatafaqqahuu
terambil dari kata (فقه) fiqh yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal
sulit dan tersembunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ت pada kata tersebut mengandung makna
kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi
pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin
untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.
- Munasabah Baina al Ayat
Ayat
sebelumnya (QS. At- Taubah ayat 120-121)
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka
daripada mencintai diri rasul. yang demikian itu ialah Karena mereka tidak
ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula)
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak
menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka
dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,
"Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan
bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka
yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan."
Pada kedua ayat
di atas telah dijelaskan hukum-hukum tentang perang sebagai suatu cara dalam
berjihad fi sabilillah, yang memerlukan pengorbanan harta benda dan jiwa
raga, yang di catat disisi Allah sebagai amal shaleh yang berhak untuk di balas
dengan ganjaran yang amat besar. Allah menegaskan tentang kewajiban mengikuti
Rasulullah, untuk berperang bersama beliau. Karena, dengan
ikut berperang bersama beliau, akan memperoleh pahala yang besar. Dan Allah pun
memperingatkan jangan ada seorang pun yang tidak ikut dalam peperangan, kecuali
atas izin dari beliau (Maraghi, 1992: 80).
Pada ayat ini 122, Allah menjelaskan kewajiban
menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu-ilmu agama Islam, yang merupakan
salah satu cara dan alat dalam berjihad. Menuntut ilmu serta mendalami
ilmu-ilmu agama, juga merupakan suatu perjuangan yang meminta kesabaran dan
pengorbanan tenaga serta harta benda.
Ayat sesudahnya (QS. At- Taubah
ayat 123)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# Nä3tRqè=t ÆÏiB Í$¤ÿà6ø9$# (#rßÉfuø9ur öNä3Ïù Zpsàù=Ïñ 4
(#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB úüÉ)GßJø9$# ÇÊËÌÈ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir
yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu,
dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa."
Pada ayat ini Allah membimbing
mereka supaya memulai perang terhadap orang-orang kafir di sekitar mereka.
Sesudah itu, supaya beralih memerangi orang-orang kafir berikutnya yang lebih
jauh, dan berikutnya lagi, dan seterusnya. Begitu pula perintah Allah SWT
mengenai dakwah, sebagaimana firman-Nya:
öÉRr&ur
y7s?uϱtã úüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ
"Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,"
Sesudah itu,
Nabi pun diperintahkan berdakwah secara umum dan memerangi siapapun yang berani
menghalangi jalan dakwahnya (Maraghi, 1992: 88).
- Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari
Ikrimah bahwa pada waktu QS. At- Taubah ayat 39 turun ada beberapa orang yang
tidak hadir dalam peperangan karena hidup di daerah pedalaman (Badui). Mereka
mengajar kaumnya ilmu agama. Melihat yang demikian, orang-orang munafik
mengatakan : "Celakalah penduduk kampung itu, mereka tidak hadir berperang
bersama Rasulullah." Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-122
yang memberikan ketegasan bahwa orang-orang yang tidak hadir dalam peperangan
karena baru menekuni ilmu agama, mereka tidak berdosa. Jadi, orang yang belajar
dan mengajar ilmu agama termasuk jihad.
Riwayat lain dari Abdillah bin
Ubaid bin Umar, oleh karena kaum muslimin berambisi sekali untuk berjihad, maka
apabila ada seruan untuk berjihad di medan perang dari Rasulullah saw. mereka
dengan tanpa berpikir panjang langsung berangkat. Tidak jarang
mereka berangkat dengan meninggalkan Rasulullah bersama orang-orang dhaif di
Madinah. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat 122 sebagai penegasan
tentang larangan bagi kaum muslimin berangkat perang secara keseluruhan dan
ayat ini memberikan tuntunan agar sebagian kaum muslimin menuntut ilmu agama,
sementara yang lain berangkat jihad. Nilai pahala keduanya sama.
- Kandungan Makna
Dalam Al-Qur'an, istilah tafaqquh fi ad-din
disebut hanya sekali. Kata ad-din dalam rangkaian istilah tersebut berarti
"agama" dalam arti yang luas, bukan "agama" arti sempit,
seperti mempelajari seluk-beluk wudhu dan masalah shalat, atau hanya menyangkut
masalah fiqih. Agama yang oleh ungkapkan tersebut di dorong untuk di dalami
oleh dari Nabi SAW, pada saat beliau berada di tempat/ Madinah karena tidak
berangkat memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung di dalam
ayat-ayat Al-Qur'an yang telah diterima Rasulullah saw pada periode Mekah selama
13 tahun, dan juga masalah-masalah agama yang mungkin dapat disampaikan Nabi
pada saat para sahabat yang berminat melakukan tafaqqauh fid-din. Jadi,
seolah-olah dikatakan bahwa jika Rasulullah saw sedang berada di Madinah, tidak
berangkat memimpin perang, sepatutnya sebagian sahabat memanfaatkan kesempatan
itu untuk mendalami berbagai persoalan agama.
Quraish Shihab berpendapat bahwa pengaitan tafaqquh
(pendalaman pengetahuan itu) dengan agama, adalah untuk
menggarisbawahi tujuan pendalaman pengetahuan itu, bukan dalam arti pengetahuan
tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum
dikenal pada masa turunnya al-Qur'an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah swt.
Al-Qur'an tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu
umum, kareana semua ilmu bersumber dari Allah swt. Yang diperkenalkannya adalah
ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia (acquired knowledge) dan ilmu
yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny/ perennial) (Shihab,
2002: 707).
Sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari
ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Manusia memperoleh ilmu
pengetahuan dari dua sumber utama; sumber Ilahi berupa wahyu, ilham maupun
mimpi yang benar dan sumber manusiawi; jenis ilmu pengetahuan dipelajari
manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, upaya mengamati,
menelaah, dan memecahkan berbagai problem yang dihadapi melalui ”Trial and Error” atau lewat pendidikan
dan pengajaran dari kedua orangtuanya, lembaga-lembaga pendidikan maupun
penelitian ilmiah (LPPI-UMP, 2009: 96).
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak
semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat
di lakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas
dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus
menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat
diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih
efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh
Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan
mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan
agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan
masyarakat.Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan
ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi
dalam bidang dan cara yang berlainan (Depag, 2009: 233).
Tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk
menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena
sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan
sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan
waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar
kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat
menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah islamiyah dengan cara dan
metode yang baik sehingga mencapai hasil yang baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya,
dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama,
tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan,
dan dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi
larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera
dunia dan akhirat.
Tujuan utama
dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya,
mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan
dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka
takut kepada Allah dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, di samping
agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan dakwahnya
dan membelanya, serta menerangkan rahasia-rahasianya kepada seluruh umat
manusia. Jadi, bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan
yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan
memperoleh harta dan meniru orang zalim dan para penindas dalam berpakaian,
berkendaraan maupun dalam persaingan di antara sesama mereka.
Ayat tersebut
merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya
di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang lain kepada agama, sebanyak
yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga, mereka tidak bodoh lagi
tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mukmin.
Orang-orang
yang mempelajari agama dengan tujuan seperti itu lah orang yang beruntung.
Mereka mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak kalah tingginya
dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat
Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari
pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi wajib 'ain bagi
setiap orang (Maraghi, 1992: 87). Penulis menyimpulkan dari uraian di atas
bahwa peran ulama itu lebih mulia dari syuhada.
Ibnu Abbas ra.
memberikan penakwilannya, bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk
sariyyah-sariyyah, yakni apabila pasukan itu dalam bentuk Sariyyah, sedangkan
ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan
tidak ikut berangkat ke medan perang jika itu adalah Ghazwah (Jalalain,
2000: 819).
Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari
penduduk Arab yang muslim wajib berangkat berperang, kemudian dari sekian
golongan itu harus ada orang-orang yang menyertai Rasulullah saw. guna memahami
agama lewat wahyu yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka dapat
memperingatkan kaumnya apabila telah kembali, yaitu ihwal persoalan musuh. Jadi,
dalam pasukan itu ada dua kelompok: kelompok yang berjihad dan kelompok
memperdalam agama melalui Rasul.
Sehubungan dengan ayat ini, al-Aufi meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, dia berkata: Dari setiap penduduk Arab ada sekelompok orang
menemui Rasulullah saw. mereka menanyakan kepada beliau berbagai persoalan
agama yang mereka kehendaki dan mendalaminya. Mereka berkata, "Wahai
Rasulullah, apa yang diperintahkan kepada kami bila kami kembali? Ibnu Abbas
berkata: maka Nabi menyuruh mereka menaati Allah, menaati Rasulullah,
menyampaikan berita kepada kaumnya ihwal kewajiban mendirikan shalat dan zakat.
Jika golongan ini telah sampai kepada kaumnya, mereka berkata:
"Barangsiapa masuk Islam, maka dia termasuk kelompok kami." Mereka
memberi peringatan kepada setiap delegasi agar memperingatkan kaumnya jika
mereka telah kembali ke kampung halamannya: memperingatkan nerakan dan
menggembirakan dengan surga (Ar-Rifa'I, 1999).
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam
ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari
upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah berkaitan erat dengan
kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.
Sementara ulama menggarisbawahi
persamaan redaksi anjuran/ perintah menyangkut kedua hal tersebut. Jadi, yang
dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang
memberi peringatan adalah mereka yang tinggal bersama Rasul saw dan tidak
mendapat tugas sebagai anggota pasukan, sedang mereka yang diberi peringatan
adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul
saw. ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa yang memperdalam
pengetahuan adalah aggota pasukan yang ditugaskan Nabi saw. dengan
perjuangan dan kemenangan menghadapi musuh, mereka memperoleh pengetahuan
tentang kebenaran Islam serta pembelaan Allah swt terhadap agama-Nya dan
memperingatkan orang yang tinggal di Madinah agar berhati-hati dalam bersikap
dan kelakuan mereka agar tidak terhindar dari bencana yang dialami orang-orang
yang membangkang perintah-Nya. Pendapat ini di dukung oleh Sayyid Qutb.
Pendapat ini agaknya dipaksakan, apalagi tidaklah
pada tempatnya menamai pengalaman mereka yang terlibat dalam dalam perang atau
kemenangan yang mereka raih sebagai upaya tafaqqahu fid din (memperdalam
ilmu agama) . ayat ini menggarisbawahi terlebih dahulu motivasi memperdalam
pengetahuan bagi mereka yang di anjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka
yang berperang bukanlah tafaqquh . ayat ini tidak berkata bahwa hendaklah
jika mereka pulang mereka bertafaqquh, tetapi berkata " untuk
memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada
mereka, supaya mereka berhati-hati. Peringatan itu hasil tafaqquh.
Itu tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam perang, karena yang terlibat
ketika itu pastilah sedemikian sibuk menyusun strategi dan menagkal serangan,
mempertahankan diri sehingga tidak mungkin dapat bertafaqquh memperdalam
pengetahuan. Memang harus diakui, bahwa yang bermaksud memperdalam
pengetahuan agama harus memahami arena, serta memperhatikan kenyataan yang ada,
tetapi itu tidak berarti tidak dapat dilakukan oleh mereka yang tidak terlibat
dalam perang. Bahkan tidak keliru jika dikatakan yang tidak terlibat dalam
perang itulah yang mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu daripada mereka
yang terlibat langsung dalam perang (Shihab, 2002: 709).
Ali bin Abi Thalib berkata :”Sesungguhnya yang
disebut orang alim adalah orang yang beramal dengan ilmunya dan ilmunya sesuai
dengan amalnya.” Atsar tersebut menunjukkan bahwa harus ada integritas antara
ilmu dengan amal, karena sejatinya menurut ulama orang-orang yang memiliki ilmu
namun tidak mengamalkannya, mereka adalah orang yang bodoh.
- Kontekstualisasi
Ilmu agama
menjadi kebutuhan yang pokok bagi setiap muslim. Umat Islam sekarang ini telah
di jajah oleh modernisasi, dimana banyak budaya-budaya
barat yang mendominasi kehidupan dari mode, makanan sampai gaya hidup. Aturan
syariat Islam di anggap ketinggalan jaman, kolot dan sebagainya. Kenapa ini
bisa terjadi? Tidak lain karena umat islam sekarang tidak mengenal syari'atnya
sendiri.
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa ingin bahagia di dunia maka dapat diraih dengan ilmu,
barangsiapa ingin bahagia di akhirat maka dapat diraih dengan ilmu, dan
barangsiapa ingin bahagia di dunia dan akhira maka dapat diraih pula dengan
ilmu”.
Menjadi tanggung jawab orang yang paham agama untuk
mengajarkan apa yang telah dipahaminya dan setiap muslim wajib untuk menuntut
ilmu agama, agar Islam tidak lagi asing di mata pemeluknya. Dengan menuntut
ilmu akan kita raih derajat kemuliaan yang tertinggi karena ilmu agama
merupakan "the highest knowledge".
Agama
adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan
manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan
dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam
diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan dapat menciptakan kehidupan
yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan
tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah
wajib pula hukumnya. Dalam
hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah hukum yang berbunyi:
مالايتمال
واجب إلابه فهوواجب
"Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib
pula hukumnya".
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian,
bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam
kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada
orang lain.
The highest knowlwdge dapa diraih dengan:
- Memiliki azzam yang kuat untuk memperdalam ilmu agama.
- Meluruskan niat hanya untuk meraih ridha Allah swt.
- Rajin menghadiri majelis-majelis ilmu.
- Istiqomah dalam mencari ilmu agama.
- Memaksimalkan sarana mencari ilmu sebagai wujud syukur, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati.
- Mengamalkan apa yang sudah di ilmui.
Apabila kelima langkah tersebut dilaksanakan Insya Allah ilmu agama (The highest knowlwdge tersebut) aka
dapat diraih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli,
Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. 2000. Tafsir Jalalain Berikut
Asbaabun Nuzuul Ayat, terj. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Al-Maraghi,
Ahmad mustafa. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha Putra.
Ammar, Abu dan Abu Fatiah al-Adnani. 2009. Mizanul Muslim, edisi revisi. Solo: Cordova Mediatama.
Ar-Rifa’I,
Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir . Bandung: Gema
Insani Press.
Dapartemen
Agama Republik Indonesia. 2009. Al-Qur'an Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag.
Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam. 2009. Membangun
Intelektual
Muslim yang Tangguh. UMP: Purwokerto.
Mahali,
A. Mudjab. 2002. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur'an. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.